Kamis, 28 Oktober 2010

Candi Kethek


Candi Kethek

Hm, Candi Kethek terletak sekitar 300 meter dari Candi Ceto, otomatis Candi Kethek masih terletak di Dukuh Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.

Bacpacker ke Candi Kethek

   >  Untuk menuju ke Candi Kethek, caranya sama saat kita menuju Candi Ceto.

   >  Pada teras pertama yang memiliki banyak pendopo terdapat sebuah pintu kecil di seblah kiri dan di salah satu tiang pendopo terdapat papan petunjuk yang menjelaskan arah menuju Candi Kethek dan Puri Taman Saraswati. Saking kecilnya papan ini, saya sampai terlewatkan beberapa kali.

     Jalan menuju Candi Kethek tidaklah mudah, kita harus melewati jalan tanah dengan jurang di sebelah kiri. Selepas dari Candi Ceto, tidak ada papan petunjuk menuju ke Candi Kethek. Walau cuma satu jalan, menuju Candi Kethek agak membingungkan karena tiba – tiba jalannya berubah menjadi tanah lapang berumput yang kecil dan juga becek. Malahan disini saya mendapati sepasang remaja berpacaran sambil menikmati indahnya panorama alam dengan ditemani musik dari Hp, weleh....weleh......

     Karena jalan yang ga jelas ini menjadi alasan bagi ibu dan adik saya untuk kembali lagi karena mereka sudah lumayan ngeri melewati jalan setapak berhiaskan jurang. Berhubung saya sudah melihat foto Candi Kethek, maka petunjuknya adalah pepohonan yang tumbuh di Candi Kethek. Demi melihat pohon yang sama tumbuh bergerombol di atas bukit didepan, maka perjalananpun berlanjut.


    Selepas remaja berpacaran, maka jalanan menurun dengan batu – batuan. Sialnya, karena semalam habis hujan, maka jalan menurun ini tak ubahnya air terjun mini. Setelah itu kita melewati sungai kering yang ketika saya datang ada aliran airnya dalam debit yang minim. Dan jika hujan deras, maka sungai dadakanpun akan tercipta dengan sebuah air terjun kecilpun juga akan muncul. Selepas sungai, jalananpun kembali menanjak naik dan sampailah kita di Candi Kethek.

    Candi Kethek merupakan candi Hindu seperti candi – candi lainnya si sekitar Gunung Lawu. Candi Kethek sendiri berbentuk puden berundak dan terdiri dari batu – batu alam dalam ukuran besar dan kecil serta ditumbuhi pohon pinus disana – sini. Candi Kethek terdiri dari tujuh teras atau tingkat. Di setiap teras terdapat beberapa dupa di kanan – kiri tangga, dulunya sewaktu pemugaran, ditemukan arca kura – kura kecil di setiap tangga masuk dan sekarang entah kemana perginya arca tersebut. Tangga di Candi Kethek berukuran kecil dan curam. Atap candi sudah mneghilang dan sekarang di atas candi terdapat altar pemujaan kecil dengan puncak dicat bewarna emas sehingga menyolok mata jika dilihat dari bawah. Altar tersebut dipenuhi dupa dan bunga yang agak segar.

    Candi Kethek minim informasi dan katanya terdapat lima buah panil relief diantara ratusan batu penyusunnya. Sayangnya saya tidak dapat menemukan relief tersebut dan berdasarkan foto yang saya peroleh, relief tersebut dalam keadaan yang sangat aus dan sayapun ga yakin apakah itu benar – benar relief ?!

    Candi Kethek pernah dicoba direkonstruksi pada tahun 1928 dan Candi Kethekpun juga pernah diteliti oleh tim arkeologi dari Belanda pada tahun 1842. Tim ini meneliti situs purbakala di sekitar Gunung Lawu, termasuk Candi Ceto, Candi SukuhCandi Planggatan serta beberapa candi lain yang belum sempat dinamai.

    Candi Kethek Berada Di Bawah Caption Nama Diantara Pepohonan

    Tiga arkeolog Belanda yaitu Verbeek, Van Der Vlis dan Hoepermans pernah melakukan penelitian dan penggalian di kawasan punggung Gunung Lawu dan Candi Kethek juga ikut diteliti.

    Candi Kethek dipugar kembali pada tahun 1982 oleh asisten khusus Presiden Soeharto, Soedjono Hoemardani yang juga memugar Candi Ceto.

    Memang, semangat pantang menyerah harus diterapkan jika ingin mengunjungi Candi Kethek (kayaknya agak berlebihan). Hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang kembali hanya karena melihat jalan yang menghilang dan sepasang remaja memadu kasih (benar – benar betah banget yang pacaran). Tapi, beruntunglah mereka bisa sampai ke Candi Kethek demi melihat saya nongol diatas bukit dan berteriak ga jelas itu, sehingga mereka kembali mengambil jalan yang saya lalui.

                                              Candi Kethek

     Sayangnya, walaupun bernama Candi Kethek (Bahasa Indonesia Kethek = monyet) saya tidak menjumpai satupun kera disini. Candi Kethek yang masih dipergunakan warga sekitar yang beragama Hindu untuk beribadah sepertinya harus berbenah, terutama mengenai masalah memperbesar dan memperbanyak papan petunjuk agar wisatawan tidak tersesat.

Selasa, 26 Oktober 2010

Candi Ceto


Candi Ceto

Hm, Candi Ceto, candi yang terletak di Dukuh Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah ini masih berkaitan dengan Candi Sukuh, maka tak lengkap rasanya jika kita ke Candi Sukuh tak mampir ke Candi Ceto, lagipula letak kedua candi ini tak terlalu jauh.

Bacpacker ke Candi Ceto

Jika tak membawa kendaraan pribadi, maka satu – satunya jalan menuju Candi Ceto adalah dengan naik ojek.

   >  Seperti yang sudah saya jelaskan di artikel Karanganyar, ojek Candi Sukuh – Candi Ceto ditarik Rp 40.000,- (biasanya Rp 50.000,-) Pergi – Pulang.

   >  Alternatif lainnya, kita bisa naik bus ¾ dari Terminal Karangpandan dan turun di Terminal Kemuning yang merupakan terminal terakhir dan terletak di tempat yang lebih tinggi serta dikeliling Kebun Teh.


  >  Ojek dari sini Rp 18.000,- entah untuk PP atau sekali jalan.

 > Sebelum kita tiba di Candi Ceto, sepeda motor ditarik Rp 2.000,- dan biaya masuk Candi Ceto Rp 2.500,- sama dengan biaya masuk Candi Sukuh.

Sejarah Candi Ceto

Candi Ceto merupakan salah satu candi yang dibenci para arkeolog (candi yang lainnya adalah Candi Cangkuang) karena saat dipugar oleh Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Presiden Soeharto pada tahun 1975/1976, struktur bangunan asli candi dirubah dan beberapa bangunan barupun ditambahkan, termasuk gapura bersayap di pintu masuk candi dan juga bangunan candi utama di teras paling tinggi.

Jika kita jeli, maka pada loket tiket, lihatlah bagian atasanya, ada papan kecil yang bertuliskan :
Sangat disayangkan bahwa “pemugaran” atau lebih tepat disebut pembangunan oleh “seseorang” terhadap candi Cetha ini tidak memperhatikan konsep arkeologi, sehingga hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Candi Ceto diketemkan kembali oleh Van der Vlis pada tahun 1842. Setelah itu, Candi Ceto diteliti oleh beberapa ahli seperti W.F. Sutterheim, K.C. Crucq, N.j. Krom, A.J. Bernet Kempers, dan Riboet Darmosoetopo.


Candi Ceto sendiri terdiri dari 13 teras yang membentang arah timur – barat sepanjang 190 meter dan sekarang yang ada hanya 11 teras, entah kemana perginya 2 teras yag lain. Dari tulisan yang diketemukan di lokasi candi (beberapa terpahat pada dinding gapura bentar yang runtuh) Candi Ceto dibangun pada tahun 1451-1475 yang merupakan masa akhir Kerajaan Majapahit.

Teras yang masih asli adalah teras ketujuh, dimana pada teras ini terdapat sangkalan memet (sandi angka tahun) berupa tiga katak, mimi, kepiting, belut, dan tiga kadal. Menurut Bernet Kempers, arkeolog Belanda, relief kepiting, belut, dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3) wiku (7) anahut (3) iku = mimi (1), menunjukkan angka tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi, tahun didirikannya candi Ceto.

Pada gapura diteras ini terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Candi Ceto digunakan sebagai tempat ruwatan tahun 1397 Saka atau 1475 Masehi. Hal ini diperkuat dengan relief – relief Samudramanthana dan Garudeya.

Masih pada teras ini terdapat Kalacakra atau lingga (kelamin laki-laki) dengan panjang sekitar dua meter; juga terdapat simbol matahari dalam lingkaran yang merupakan Surya Majapahit, simbol dari Kerajaan Majapahit.

Candi Ceto Kini
Seperti candi – candi di Bali, Candi Ceto madih digunakan hingga sekarang oleh masyarakat sekitar yang uniknya, mulai dari zaman dahulu hingga sekarang masih beragama Hindu, hal ini terlihat dari bentuk pagar rumah mereka yang berbentuk gapura bentar. 




                                                        Masih Di Candi Ceto 

Selain itu, Candi Ceto memiliki arca – arca yang sangat unik. Arca dikaki masuk dipahat pada dua sisinya, yaiut sisi depan da sisi belakang. Arca jenis ini hanya dapat diketemukan di Candi Ceto dan Situs Menggung.

Jika cuaca cerah, maka dari Candi Ceto kita dapat melihat kota Solo, hingga Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (hal ini tentu saja akan semakin terlihat indah jika malam datang karena gemerlap lampu kota akan terlihat dari sini). Karena berada pada tempat yang tinggi,Candi Ceto sering tertutup kabut dan hal ini memberi nilai plus akan situs bersejarah ini karena seakan – akan kita berada di negeri kahyangan dengan gapura – gapuranya yang menyembul diantara kabut.

Dan untungnya, saat saya kesini, Candi Ceto tertutup kabut, namun sedikit gerimis. Gerimisnya tak berlangsung lama, sebab setelah itu kabut bergulung pergi dan cuaca menjadi cerah serta sangat panas menyengat dan untungnya lagi, kabut kembali turun menyelimuti Candi Ceto.

Hal menyenangkan dari Candi Ceto adalah dalam perjalanannya. Untuk menju candi ini, kita akan melewati kebun teh Kemuning yang berbukit – bukit dan seluruhnya di selimuti oleh warna hijau dari tanaman teh. Tak heran, walau jalanannya agak rusak dan penuh tanjakan terjal, banyak remaja yang betah nongkrong berlama – lama disini.

                                                       Candi Ceto

Jika ingin menikmati pemandangan malam di sini, jangan bingung, sebab penduduk sekitar telah membuka penginapam. Ada banyak penginapan disini, dan kebanyakan terpusat di bawah pintu masuk menuju Candi Ceto. Jangan lupa pilih yang berfasilitas air panas dan bawa jaket yang tebal, karena udara disini benar – benar dingin.

Jika mengunjungi Candi Ceto, jangan lupa untuk mengunjungi Candi Kethek dan Pura Saraswati yang letaknya tak jauh dari Candi Ceto.

Air Terjun Jumog


Air Terjun Jumog

Hm, Air Terjun Jumog, The Lost Paradise. Terdengar seperti film Box Office yang sangat menjanjikan. Nyatanya The Lost paradise bukan merupakan tagline sebuah film, namun merupakan tagline dari sebuah kawasan wisata di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar.


Bacpacker ke Air terjun Jumog

   >  Cukup mudah jika ingin ke air terjun Jumog, apalagi banyak papan petunjuk jalannya. Caranya sama dengan pergi ke Candi Sukuh. Berhubung angkutan umum tak lewati air terjun ini, kita bisa turun di pertigaan nglorog dan naik ojek ke tempat ini. Biaya sekali jalan Rp 5.000,- biaya yang sama untuk menuju ke Candi Sukuh.

   >  Jika memiliki waktu panjang, lebih baik menyempatkan juga ke Candi Sukuh dan Candi Ceto dengan biaya Rp 50.000,- PP termasuk juga air terjun Jumog.
   >  Biaya retribusi Rp 3.000,-
Saya memang kepingin ke air terjun ini, maklum ga ada air terjun di kota, apalagi melihat gambar air terjunnya yang menjanjikan ketika browsing di internet. Maka jika waktu memungkinkan “harus” ke air terjun ini.

Jarak ke air terjun Jumog tak begitu jauh dari Candi Sukuh serta lebih dekat daripada Air Terjun Parang Ijo yang berada di utara Candi Sukuh. Namun, berhubung ke Candi Planggatan lebih dahulu dan mas ojeknya mengiklankan Telaga Madirdo, maka kami bertiga malah mengambil jalan berputar yang jauh untuk menuju air terjun ini.

Lagi – lagi kami menjadi pengunjung yang pertama yang datang ke air terjun Jumog, padahal masih jam sembilan pagi. Biaya retribusi untuk masuk ke air terjun ini adalah Rp 3.000,- Ternyata, air terjunnya berada di bawah dan kamipun harus turun ke bawah. Turunnya lumayan jauh juga, namun tidak sejauh Grojogan Sewu. Ini berarti naiknya melelahkan dan memakan waktu, padahal belum ke Candi Ceto. 

Saat turun menapaki anak tangga ini, bunyi gemuruh air terjun sudah terdengar, tapi air terjunnya masih belum kelihatan. Setelah turun, ada kolam renang dangkal dengan perosotan yang berjumlah banyak. Persotan berwarna – warni ini pastinya menarik perhatian anak kecil. Adikkupun terpesona olehnya. Karena tak ada waktu, langung aja bergerak menuju air terjunnya yang ternyata masih harus berjalan lumayan jauh dari anak tangga.

Air Terjun Jumog memiliki tinggi 60 meter, kalah 20 meter dari Grojogan Sewu dan arah terjunnya air bercabang dua. Ada 2 jalan menuju air terjun. Jalan pertama becek dan berada di bawah tebing. Jalan kedua agak panjang dan memutar serta melewati beberapa jembatan. Ternyata jalan pertama pernah terkena longsor bulan April lalu dan jalan kedua merupakan jalan alternatifnya yang lebih bagus dan nyaman daripada jalan kedua.

Jalan menuju air terjun sejalur dengan sungai kecil yang alirannya berasal dari air terjun. Sungainya berair jernih, dangkal dan masih terdapat beberapa batu alamnya. Seringkali jalannya bercabang menuju ke sungai sehingga kita bisa bermain air disana tanpa takut tenggelam karenanya walaupun kita berada di tengah sungai :D.

Dari kejauhan buih – buih air terjun sudah menerpa kita. Semakin mendekat, semakin basah kita. Aliran air terjunnya memang deras. Hanya beberapa menit berada di sekitar air terjun sudah mampu bikin pakaian basah !!

Lama tak melihat air terjun secara langsung membuat kita bertiga terpana karenanya. Apalagi daerah disekitar air terjun benar – benar masih hijau, apalagi ada larangan menebang tanaman secara sembarangan.

Sayangnya, satu – satunya hal menggangu adalah banyaknya sampah di bebatuan di sekitar air terjun. Alangkah baiknya jika pengunjung mebuang sampah pada tempatnya, apalagi banyak tempat sampah bertebaran di lokasi air terjun. Gazebo – gazebo kecil di sepanjang jalan menambah daya tarik sendiri karena kita bisa beristirahat sambil menikmati indahnya air terjun dalam sudut pandang yang kita suka, walalupun gazebo di dekat air terjun tidak dapat membuat kita merasa nyaman, karena gazebonya sendiri seperti habis diguyur hujan tanpa hentinya !!

Puas menikmati air terjun, jangan lewatkan masakan khas daerah pegunungan, apalagi kalau bukan sate kelinci. Banyak sekali pedagang sate kelinci ini, mulai dari pelataran parkir di atas, sampai warung - warung di sepanjang jalan menuju air terjun. Kami memilih warung yang terdekat dengan air terjun dan juga merupakan satu – satunya warung yang buka pada hari itu [di pelataran parkir juga baru ada satu warung yang buka].

                                                      Sate Kelinci

Seporsi sate kelinci berisi 10 tusuk sate dan lontong, harus ditebus seharga Rp 7.000,- bagi yang ga tega memakan hewan imut ini, maka dapat dipastikan setiap pedagang sate kelinci pasti juga berjualan sate ayam. Harga sate ayam dipatok lebih murah, yaitu senilai Rp 6.000,-

Entah harus bilang seperti apa mengenai daging kelinci ini. Selain dagingnya kecil, rasanya hampir mirip – mirip rasa daging ayam. Rasanya sangat jauh dari apa yang orang – orang katakana. Atau mungkin lidahku aja yang ga peka ?! Beda selera mungkin !!

Perut kenyang dan sudah jam sepuluh pagi dan pasangan sejoli mulai berdatangan kemari, itu saatnya mengakhiri wisata di air terjun Jumog. Masalahnya adalah perjalanan kembali membuat kita harus menapaki ratusan tangga kembali. Berhubung kasihan sama ibu dan adik, maka tas – tas mereka yang berat saya bawakan. Tapi, sayalah yang tiba duluan di atas dibanding mereka berdua !!

Melihat ibu saya kecapaian, membuat bapak – bapak petugas ga tega. Jadinya mereka mempersilahkan kami melewati “pintu ajaib” yang langsung menembus pelataran parkir [untuk menuju pelataran parkir sebenarnya harus naik lagi].

                                          Air Terjun Jumog - The Lost Paradise

Air Terjun Jumog, entah apa makna dari kata – kata itu. Saya sendiri tidak menemukan adanya papan informasi mengenai air terjun ini, mengenai namanya dan legendanya [atau saya yang kurang jeli ya ?!]. Yang jelas, inilah sepotong surga yang diciptakan Tuhan untuk mewarnai tanah Karanganyar yang kaya ini.

Telaga Madirdo


Telaga Madirdo

Hm, Telaga Madirdo, nama yang sering kudengar takkala surfing di internet mengenai Candi Sukuh. Sehabis mengunjungi Candi Planggatan, mas ojeknya menawari menuju Telaga Madirdo, tentunya menambah biaya lagi dan saya tawar lagi. Agak malas juga ke telaga ini, karena bukan tujuan utama saya ke Karanganyar, namun karena sudah jauh – jauh, maka tak ada salahnya untuk ke sini, apalagi Telaga ini tengah dikembangkan. Hm, mumpung masuknya gratis nih :D

Bacpacker ke Telaga Madirdo

   >  Jujur saja, rutenya saya ga hafal.Semuanya saya pasrahkan ke mas – mas ojek. Pokoknya tempat ini tidak begitu jauh dari Candi Planggatan dan 7 km dari Tawangmangu.


Seperti yang saya sebutkan di atas, telaga ini tengah berbenah untuk menjadi tujuan wisata andalan Karanganyar. Secara administratif Telaga Madirdo berada di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Saat menuju ke Telaga Madirdo tampak dua buah bangunan loket retribusi kecil yang belum rampung penyelesaiannya dan diantara nya terdapat jalan kecil yang becek [kayaknya semalam habis hujan] yang menuju ke telaga. Beberapa material bahan bangunan tampak tersebar di sepanjang jalan itu. Mas ojekpun mencari jalan memutar menuju telaga karena jalan tersebut masih ditutup untuk pembangunan.

                                                        Masih Di Telaga Madirdo

Jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan pagi ketika kami berbecek – becek menuju telaga. Pihak pemerintah sepertinya serius menggarap kawasan ini. Terbukti walau jalan utamanya belum rampung, tapi di kawasan telaga telah rampung pembangunan toilet dan sebuah gedung yang kemungkinan besar merupakan mushola.

Hal paling mencolok disini adalah adanya gazebo kecil yang dicat berwarna pink dan dibangun sepanjang tepian telaga. Ga habis pikir, kenapa warnanya pink ? Biru muda kan lebih bagus dan serasi dengan alam serta terlihat di kejauhan. Sayangnya, tepian telaga ini panas dan gazebo – gazebo tersebut kurang mampu menaungi pengunjung.

Di telaga ini ada banyak ikannya, sayangnya dilarang dipancing, bahkan mas ojek sudah mengingatkannya lebih dulu plus ada larangannya di telaga ini. Pikiranpun melayang, ikan apakah yang berada di telaga ini sehingga begitu dijaganya. Apakah ikan jadi – jadian ? Ikan keramatkah ? Ikan langkakah ? Spesies endemik satu – satunya ? E…e…eh, ternyata setelah dilihat………cuma ikan koi dan ikan – ikan kelabu seperti ikan gurame. Mungkin baru disebar di telaga ini ya ? 

                          Batu - Batu Di Atas Adalah Sumber Mata Air Telaga Madirdo

Bertemu dengan bapak setempat, sempat bertanya pula mengenai ikan – ikan yang berenang bebas di telaga tersebut. Ternyata  kebanyakan ikan nila. Hm, enaknya dibakar aja. Eh, bapaknya cuma ketawa aja. Padahal jika boleh dipancing dan di pinggir telaga disediakan warung yang dapat memasak ikan hasil tangkapan akan menjadi nilai tambah sendiri bagi pengunjung yang kesini.

Air telaga benar – benar jernih sampai – sampai dasar telaga kelihatan, begitu pula ikan – ikan bakar  nya yang berenang dengan damai dalam kejernihan airnya. Hm ,jadi tergoda untuk memasukkan diri ke dalam telaga ini, atau setidaknya kedepannya disediakan sampan atau perahu untuk mengarungi Telaga Mardido ini. Layaknya air pegunungan, air Telaga Mardido juga dingin. Selain itu, juga terdengar gemericik air dari bebatuan di sekitar telaga yang juga merupakan sumber air bagi telaga ini. Telaga yang berad di ketinggian 900 mdpl ini memiliki kedalaman 1 – 3 meter dan memiliki luas ± 1.000m2 namun hanya menggenangi 30 % dari luas cekungan [Telaga Mardido terletak dibawah sehingga membentuk seperti cekungan].

                                                          Fajar Menyingsing Di Madirdo

Ada perubahan dari foto Telaga Madirdo dari foto di internet dengan yang sekarang. Di foto itu terdapat banyak sekali bebatuan yang menyembul keluar dari tengah telaga, namun sekarang bebatuannya sudah tenggelam di dasar telaga. Sepertinya air telaga telah dinaikkan beberapa meter namun tidak bertambah luas.

Sepertinya tak ada salahnya mampir sejenak ke kawasan ini sebelum ke air terjun Jumog atau Tawangmangu, walau sekedar mendengar gemericik airnya, segarnya udaranya dan pastinya, masih GRATIS !!
[tidak ditanggung setelah tanggal 2 Juli 2010]

Senin, 25 Oktober 2010

Candi Planggatan


Candi Planggatan

Hm, Setelah kepagian mengunjungi Candi Sukuh. Tujuan selanjutnya adalah Candi Planggatan. Dari halaman parkir Candi Sukuh terpampang sebuah papan putih kusam, kecil  dan teronggok di pojok bertuliskan Candi Planggatan. Sederhana, terlalu sederhana malah dan arah yang ditunjukkan tergolong ambigu.


Bacpacker ke Candi Planggatan

Untuk ke Candi Planggatan bukan perkara mudah, jarak yang tak tentu, dan tak adanya petunjuk jalan lain, apalagi jalan ke sana penuh tanjakan dan turunan curam serta jalan yang rusak disana – sini.

   >  Seperti yang sudah saya singgung di artikel Karanganyar, jika tak berkendara sendiri, satu – satu cara ke sini adalah dengan naik ojek. Untuk ke Candi ini, saya harus nambah biaya Rp 10.000,- dari kesepakatan awal setelah sebelumnya tawar – menawar.


Sebelumnya bertanya tentang bapak petugas Candi Sukuh tentang Candi Planggatan, dan hanya mendapat jawaban jarak Candi Sukuh – Candi Planggatan sekitar 4 – 5 km. Sepeda motor sering bergetar takala melewati jalanan yang rusak parah dan di kanan jalan sudah ada jurang yang siap menanti. Mas ojek yang sudah berpengalaman tampak tenang – tenang saja dan akhirnya jalan berubah menjadi jalan beton yang sempit, memasuki perumahan penduduk dan dikanan jalan tampak sebuah papan putih kehijauan yang sudah lusuh. Tibalah kami di Candi Planggatan.

                                                           Batu - Batu Candi Planggatan

Candi Planggatan hanya tinggal reruntuhannya saja, dimana ada beberapa pohon besar tumbuh diatas bebatuan gundukan batu yang merupakan batuan candid an bagian inti candi. Relief – relief candi tersebar di beberapa tempat, menyembul diantara tanah atau tersembunyi di balik batuan padas yang besar. Dan adanya yoni kecil yang rusak menandakan bahwa tempat ini adalah peninggalan Hindu.

Tak ada papan informasi di sini. Petugas penjaga yang bernama Pak Paryono juga sedang tidak ada. Walaupun tahu jalan ke sini, mas – mas ojek tak tahu menahu mengenai sejarah candi ini. Last Option internetlah sumber informasinya.

Candi Planggatan (Di papan Candi tertulis Situs Planggatan) berada di Dusun Tambak, Desa Plangatan, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi Planggatan berada pada ketinggian 910 meter, berada di lahan seluas 4.460m2 yang dulunya merupakan tanah kas desa yang ditanami rumput gajah untuk pakan ternak. Setelah penemuan candi ini, maka BP3 Jawa Tengah mengambil alih kepemilikan tanah dan menetapkan Candi Planggatan sebagai Cagar Budaya.

Pada tahun 1985, BP3 melakukan penggalian sebanyak dua kali dan mendapati bahwa candi menghadap ke barat. Setelah itu tak ada penelitian lebih lanjut (kemungkinan tak adanya dana).

Diantara beberapa relief yang ada salah satunya menggambarkan sengkalan memet (sandi angka tahun) berupa Gajah Wiku, yaitu sosok setengah gajah, setengah manusia dengan belali ke bawah dan memakan bulan sabit dengan pakaian seorang wiku/ pendeta. Relief ini dibaca “Gajah wiku mangan wulan” dan diartikan 1378 caka atau sama dengan 1456 Masehi. Selisih 19 tahun dengan Candi Sukuh yang selesai tahun 1437 Masehi.

Disamping kanan relief gajah Wiku ini, terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa kawi sebanyak empat baris yang berbunyi :

"padamel ira ra
ma balanggadawang
barnghyang punu
n dah nrawang"

Terjemahannya :
"Pembuatannya Rama Balanggadawang bersamaan dengan Hyang Panunduh Nrawang"

Sayang sekali, relief gajah wiku kurang jelas akibat tertutup tanah dan relief di Candi Planggatan yang tipis dan serupa dengan relief – relief di Jawa Timur. Hal ini tak begitu mengherankan karena Candi Planggtan sendiri di bangun oleh prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit sebelum moksa ke Gunung Lawu.

Candi Planggatan juga sering dikunjungi orang untuk bersemedi walau tidak sebanyak orang yang bersemedi di Situs Menggung.


Candi Planggatan pernah diteliti oleh tim arkeologi dari Belanda pada tahun 1842. Tim ini meneliti situs purbakala di sekitar Gunung Lawu, termasuk Candi Ceto, Candi Sukuh, Candi Kethek serta beberapa candi lain yang belum sempat dinamai.

Diantara semua candi yang pernah saya kunjungi, candi ini adalah candi dengan nyamuk terbanyak. Begitu melangkahkan kaki sudah dikerumuni nyamuk. Nyamunknya besar – besar dan ganas. Mungkin candi yang lembab, teduh, banyak pohonnya jadi tempat yang ideal buat habitat para nyamuk ini. Hal ini pula yang mebuat ibu dan adik saya tidak betah berlama – lama di sini [ padahal saya masih betah :) ]. Disarankan untuk memakai lotion anti nyamuk sebelum kemari.

Harap diingat pula, perlu kesabaran untuk ke candi ini, selain masalah jalan dan miimnya papan informasi, masalah lainnya adalah minimnya juga penduduk yang tahu akan keberadaan candi ini. Tersesat sudah pasti. Jadi jangan malu – malu untuk bertanya ke penduduk sekitar, lagi dan lagi sampai Ketemu yang namanya Candi Planggatan ini.

                                                                     Candi Planggatan

          Sepertinya pemerintah setempat belum tergerak untuk mendanai Candi Planggatan hingga dapat direnovasi secara utuh. Apalagi jika ditilik dari batuan pagar pembatas candi yang brukuran besar, pastinya candi ini kelak akan berukuran besar. Ditambah, letak candi ini begitu strategis, karena dekat dengan Candi Sukuh, air terjun Jumog dan berada pada jalur alternatif menuju Tawangmangu serta pariwisata baru yang mulai dikembangkan, Telaga Madirdo.