Sabtu, 25 Mei 2013

Situs Condrogeni


Situs Condrogeni
Arca Megalitik Berselimutkan Kabut Wilis

            Hm, Gunung Wilis merupakan suatu gunung suci karena dianggap sebagai salah satu “ceceran” Gunung Mahameru yang dipindah dari India ke tanah Jawa. Tak heran, di  Gunung Wilis kaya akan peninggalan purbakala. Salah satunya adalah Situs Condrogeni yang terletak di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Menuju ke Situs Condrogeni

            Menuju ke Situs Condrogeni bisa dibilang susah – susah gampang. Untuk kemari, arahkan kendaraan ke kawasan wisata Air Terjun Sedudo (dari arah Nganjuk, arahkan kendaraan ke Kediri, saat sampai persimpangan Loceret ikuti petunjuk yang ada). Setelah melalui loket retribusi (wisatawan

ditarik biaya Rp 5.000, sedangkan sepeda motor Rp 1.000,-), arahkan kendaraan langsung menuju ke Air Terjun Sedudo. Jika bertemu pertigaan ke arah Air Terjun Singokromo, terus saja jangan belok. Tak jauh dari sini akan ketemu papan petunjuk ke arah Situs Condrogeni, belokkan kendaraan ke jalan tanah yang kecil. Mobil tidak bisa masuk, hanya motor yang bisa. Pastikan kendaraan dalam kondisi prima dan disarankan berhati – hati jika dalam kondisi hujan karena jalanan akan menjadi licin.

            Jika menggunakan kendaraan umum, silahkan naik angkot menuju ke Sedudo. Kita bisa naik angkot dari Terminal Nganjuk. Jika naik bis dari Kediri, turun di persimpangan Loceret. Jarak dari Loceret sekitar 25 Km kalo ga salah. Setelah itu turun di Terminal Sawahan (pemberhentian terakhir) dan lanjut dengan ojek. Jangan takut kehabisan angkot maupun ojek, karena angkot dan ojek disini masih banyak banget, cuman jika mau ke Situs Condrogeni harus meyakinkan tukang ojeknya dulu.

Naik – Turun Gunung

            Nah, niatan awal sehabis dari Candi Ngetos dan gagal ke Monumen Dr. Soetomo, kami mau melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Sedudo. Apalagi hari Selasa itu, 21 Mei 2013 langit sedang cerah setelah diguyur hujan semalam. Tapi, dasar pengemudi motornya sama – sama demen batu, saat melihat papan petunjuk menuju Situs Condrogeni, tanpa pikir panjang kami langsung mengganti tujuan. 


Sepeda Motor Hanya Sampai Disini

            Dari papan petunjuknya tertulis 3 Km lagi. Jalannya, tentu saja jalan tanah seperti foto yang paling atas. Jangan takut tersasar, ikuti saja jalan yang ada. Jika jalan bercabang, ikuti saja jalan yang terus, jangan ikuti jalan yang berbelok. Jalan tanah ini aduhai banget, melewati sebuah sungai, kebun mawar, jajaran hutan pinus dan tentu saja, jalannya berada di tepi jurang !! Kalau musim hujan, tentu saja licin, jadi kita harus hati – hati.
Jalan Kaki Diantara Gunung

            Jarak dari jalan raya menuju Situs Condrogeni sekitar setengah jam. Dari sini, kita bisa melihat Air Terjun Sedudo dari kejauhan. Walau jalan menuju situs seperti itu, tapi masih belum separah waktu saya kesasar di Gunung Wilis dalam rangka mencari Omben Jago. Jika masih belum yakin jalan yang ditempuh, bisa bertanya ke warga sekitar (jika ketemu lho ya). Untungnya, di sore hari itu, kami ketemu tiga warga, mereka sedang sibuk merawat kebun bunga mawar.

            Dari keterangan warga, ternyata sepeda motor tidak dapat menjangkau lokasi dan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Geber saja sepeda motor sampai jalanan tidak bisa dilalui lagi dan berganti menjadi jalan setapak kecil. Dari sini parkirkan sepeda motor dan berjalanlah ke atas. Jalan kaki menuju Situs memakan waktu sekitar 15 - 20 menit. Ikuti jalan yang ada sampai bertemu percabangan jalan, satu menuju ke atas dan satunya mengarah ke bawah, ke arah sungai. Saat itu, saking semangatnya, kami sampai tersasar ke atas, akhirnya kami harus kembali turun ke bawah, melewati sungai untuk sampai ke Situs. Sungainya, tentu saja jernih dan dingin. Sungainya tak terlalu lebar dan dalam kok, kita bisa menyeberang dengan leluasa. Setelah menyeberangi sungai, Situs Condrogeni sudah terlihat dengan tanaman bewarna merahnya.

Dua Arca Megalitik

Mengapa Situs ini diberi nama Condrogeni ? Kemungkinan masih berhubungan dengan Legenda Candi Ngetos. Condrogeni sendiri merupakan patih Raja Ngatas Angin, Raden Ngabei Siloparwoto. Konon, letak kepatihan Raden Bagus Condrogeni ini terletak sekitar 15 km dari Negeri Ngatas Angin yang sekarang terdapat Situs Condrogeni.

Situs Condrogeni terbagi menjadi dua bagian, satu berada di bawah, sedangkan satunya lagi berada di atas. Arca – arca di Situs Condrogeni sangat unik dengan bentuk yang mengarah ke arca Megalitik. Arca – arca Condrogeni kemungkinan peninggalan masa Kerajaan Majapahit akhir. Selain arca, dulu di Situs ini terdapat talud, tapi sekarang sepertinya tertutup tanah dan tanaman sehingga tak kelihatan lagi. Selain itu, dulu juga terdapat banyak arca disini, entah sekarang musnah kemana semua arca itu.

Situs Condrogeni Bagian Bawah – Klik Untuk Memperbesar

Situs Condrogeni bagian bawah terdiri dari satu arca dwarapala, dua buah menhir atau tugu batu dan sebuah batu yang bentuknya menyerupai stupa. Arca dwarapala dibawah sini memiliki bentuk gemuk, mulut menyeringai dengan gigi taringnya yang tajam, rambut gimbal nan panjang, dan hidung yang besar. Tangan kanannya memegang pedang polos tanpa ukiran, memakai kalung, gelang serta anting – anting dikedua telinganya. Arca disini dalam posisi jongkok dan memakai kain untuk menutupi daerah kemaluannya (seperti yang dipakai para pesumo).

Dari arca dibawah, berjalanlah menuju “Papan Larangan”, di dekatnya terdapat jalan yang menuju ke atas. Ikuti jalan ini, dekat kok, hanya semenit dan kita sudah sampai ke Arca Dwarapala yang kedua. Di tempat ini terdapat sekitar dua buah umpak, sebuah menhir dan sebuah arca dwarapala. Arca dwarapala disini lebih ramping dan tinggi dari arca yang ada dibawah. Arca tersebut memegang pedang berukir yang patah, memakai kain penutup kemaluan, memakai kalung dan memiliki payudara (arca perempuan ?). Bagian mata dan hidung arca melesak ke dalam dan tangan kanannya putus.

Situs Condrogeni Bagian Atas – Klik Untuk Memperbesar

Adanya umpak disini, kemungkinan pernah ada suatu bangunan pendopo. Dengan adanya arca dwarapala di atas dan dibawah, kemungkinan Situs ini merupakan suatu bangunan punden berundak seperti Candi Sukuh maupun Candi Ceto. Setelah puas dan hari beranjak sore, kami segera pulang kembali. Dan seperti biasa, perjalanan pulang jauh lebih cepat daripada perjalanan berangkatnya, hanya dalam waktu 10 menit kami sudah mencapai jalan beraspal.

Situs Condrogeni Dengan Tanaman Merahnya

Situs Condrogeni, suatu Situs yang tak pernah disangka, berada dibalik hiruk pikuknya wisata Air Terjun Sedudo. Suatu Situs peninggalan purbakala yang layak dijaga dan dilestarikan. Suatu Situs peninggalan purbakala yang bertahan selama ribuan tahun dalam selimut kabut Gunung Wilis yang suci.

Minggu, 19 Mei 2013

Situs Ketawanggede


Situs Ketawanggede
Candi Bersejarah di Halaman Mc Donald’s

            Hm, tidak semua situs bersejarah itu berada di tempat terpencil, di pelosok desa, jauh dari hingar – bingar  kehidupan Kota. Beberapa situs bersejarah, terutama dari masa klasik Hindu – Budha, terletak tepat di kawasan padat penduduk di kota besar, salah satunya Situs Ketawanggede yang terletak di halaman parkir Mc Donald’s Jalan Mt. Haryono, Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kotamadya Malang, Jawa Timur.

Menuju ke Situs Ketawanggede

         Menuju ke Situs Ketawanggede teramat sangat mudah, jika dari luar kota, tinggal naik bis, kereta api atau pesawat menuju ke Malang. Setelah itu silahkan naik angkot atau kendaraan pribadi dan arahkan ke Jalan Mt. Haryono. Dari sini tinggal cari gerai Mc Donald’s
yang letaknya juga bersebelahan dengan Universitas Brawijaya.

Candi Halaman Parkir

            Pada Oktober 2012 lalu, media massa sedang gencar – gencarnya memberitakan tentang situs bersejarah Ketawanggede yang “tergusur” dengan dibangunnya Mc Donald’s di kawasan Ketawanggede.

            Hampir satu tahun kemudian, pada hari Rabu, 15 Mei 2013, saya akhirnya berkesempatan mendatangi situs ini (tumben ingat tanggal). Sesuai pemberitaan, situs ini terletak di halaman parkir  Mc Donald’s yang baru dibangun itu. Untuk kemari, kita disuruh membawa surat tugas dari instasi terkait. Bagaimana dengan saya ? Ga perlu !! “Lha, ini hanya hobi saja kok melihat peninggalan purbakala, jadi kami ga punya instasi,” tukas teman saya saat manajer Mc Donald’s menanyakan asal instasi kami. Sebagai catatan, karena situsnya selalu dikunci dan terkunci, kita harus minta izin ke manajer Mc Donald’s yang sedang bertugas.

Di Dalam Cungkup Yang Tertutup
            Walau separo dicuekin, akhirnya mbak manajer yang baik hati itu mau membukakan pagar Situs Ketawanggede. Situs ini terletak di pojok sebelah kanan, dekat tempat parkir dan Mushola. Gampangnya, cari saja bangunan bercungkup. Cungkupnya sekarang sudah dikeliling tembok tinggi nan kinclong (baru dibuat), kesannya menutupi peninggalan sejarah ini (hm, setelah datang kemari baru paham yang dimaksud di media massa).
            “Kami bukannya menyembunyikannya mas, kami menjaganya. Kami juga membuat pagar ini supaya situsnya aman.” Begitulah penjelasan mbak manajer sambil membukakan gembok Situs Ketawanggede.

Setelah melongok ke dalam, ternyata terdapat dua pintu memasuki cungkup situs ini. Satu pintu di Mc Donald’s dan satunya lagi mengarah ke rumah pemilik lahan. “Status tanah kami hanya menyewa lahan, sedangkan bangunan Mc Donald’s milik kami… Ya, pintu satunya mengarah ke rumah pemilik lahan.” Imbuh mbak manajer.

Yoni dan Batu Gong

            Situs Ketawanggede terdiri dari beberapa batu andesit yang berbentuk seperti batu gong, sebuah potongan atap miniatur candi dan dua buah Yoni yang terbuat dari batu andesit (personifikasi alat kelamin perempuan, biasanya terdapat Lingga di atasnya. Karena bentuknya kotak, masyarakat suka menyebutnya sebagai Lumpang Kotak). Berhubung ada Yoni, maka bisa dipastikan bahwa Situs Ketawanggede merupakan peninggalan Hindu. Sedangkan Watu Gong merupakan umpak untuk menahan tiang bangunan yang biasanya terbuat dari kayu (jadi bukan fosil gong lho ya). Sayangnya, Yoni di situs ini sudah rusak. Bagian ujung atau cerat Yoni sudah hilang dan banyak bagian Yoni rusak seperti terkena hantaman benda keras.

Yoni Ketawanggede

            Situs Ketawanggede diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Kanjuruhan, Kerajaan tertua di Jawa Timur dan mencapai kemakmuran pada masa Raja Gajayana. Nah, dimana ada Yoni, kemungkinan besar di daerah tersebut juga terdapat bangunan Candi. Mengingat Yoni-nya berukuran besar, pasti Candinya juga besar pula, setidaknya sebesar  Candi Badut yang juga berada di daerah Malang dan berasal dari era Kerajaan Kanjuruhan. Adanya bangunan Candi di kawasan Ketawanggede juga bisa dipastikan dari Prasasti Dinoyo (760 Masei) era Kerajaan Kanjuruhan.

             Jikalau digali, masih ada kemungkinan menemukan bangunan Candi dibawah tempat parkir Mc Donald’s atau bisa saja tidak ada sama sekali. Mungkin saja Candi tersebut sudah runtuh dan bebatuan Candi yang berserakan dijadikan bahan bangunan rumah oleh masyarakat setempat (kasus seperti ini selalu terjadi).

Didata Belanda

            Situs Ketawanggede berada tak jauh dari Sungai Brantas dan agak jauh di barat daya terdapat Sungai Metro. Walau akhir – akhir ini diberitakan, ternyata situs ini sudah pernah di data pada era kolonoalisme Belanda (tahun 1907 dan 1927). Dulu, batu – batu Situs Ketawanggede berserakan di pinggir jalan sebelum disimpan dalam dua cungkup. Satu cungkup kemudian dibongkar untuk dijadikan Mushola (benda purbakala dipindah ke dalam cungkup satunya).


Watu Gong Ketawanggede

            Selain itu, dulu di Situs Ketawanggede juga terdapat tiga buah lingga, arca Ganeshadan arca lembu Nandi. Benda – benda tersebut ada yang hilang, ada juga yang dipindah ke Museum maupun Gedung Kelurahan Ketawanggede. Sedangkan beberapa batu lesung yang berukuran besar dan batu gong dihancurkan warga untuk dijadikan bahan membuat rumah. Banyaknya Batu Gong disini membuat masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Situs Watu Gong (watu bahasa jawa dari batu). Namun, di Malang juga terdapat Situs Watu Gong yang sudah lama “diresmikan” oleh pemerintah.

Ramai Dikunjungi

            Karena masih jam operasional, mbak manajer menyuruh kami bergegas dan berkali – kali menyatakan bahwa Mc Donald’s juga merawat situs bersejarah ini dengan memberi pagar supaya tidak sembarang orang masuk untuk merusak dan mencurinya serta bukannya menutup - nutupi. Dulu, untuk kemari ga perlu seribet sekarang. Kita tinggal minta dibukain ke petugas parkir. Namun, semuanya berubah saat serombongan orang (kemungkinan wartawan) yang berjumlah 20 orang berbondong – bondong datang ke Situs Ketawanggede.
            “Pengunjung kami sampai kaget, dikira terjadi sesuatu. Kami harus menjelaskan bahwa di sini terdapat situs bersejarah dan orang – orang itu ingin melihatnya.” Ujar mbak manajer, “Akhirnya kuncinya kita bawa, jadi kalau ada orang yang ingin masuk harus melalui kita. Takutnya, kalau sampai banyak orang datang, pengunjung bisa panik dan sesuatu bisa terjadi pada motor pengunjung, entah rusak atau hilang dicuri. Soalnya tempat ini dekat dengan tempat parkir.” Lanjut mbak manajer.

            Mas petugas parkir yang dulu diserahin membawa kuncipun juga turut menjelaskan, “Jadi, ke-20 orang itu tumplek-blekdi tempat sekecil itu. Ga tau mereka mau ngapain, mereka bilang suruh bukain dan saya dikasih satu bungkus rokok. Ya langsung saja saya bukain. Habis itu saya kena tegur atasan, ha ha ha…” Ucapnya dengan bercanda.

Situs Ketawanggede

            Bagi mahasiswa sejarah, tak ada salahnya mendatangi Situs ini, apalagi letaknya tepat berada di sebelah barat Universitas Brawijaya. Nah, setelah menyambangi Situs Ketawanggede, kita bisa sekalian beristirahat dan menikmati makanan di Mc Donald’s sambil membahas situs ini (kalau ga punya uang banyak, ka nada menu gocengnya :p ). Dan kamipun bergegas ke Mojokerto untuk mendatangi Air Terjundi kawasan Tahura (Taman Hutan Rakyat) R. Soerjo.

Sumber: