Minggu, 14 November 2010

Sangiran


Sangiran
Early Man Site

Hm, Sangiran, sebuah nama yang tak  begitu asing, apalagi karena Sangiran sering dipelajari waktu kita  duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA. Sangiran yang terkenal akan fosil manusia purbanya Meganthropus palaeojavanicus dan  Pithecanthropus erectus/ Homo erectus. Setelah mempelajari yang namanya Sangiran bertahun – tahun lampau, tak ada salahnya untuk mengintipnya sedikit secara nyata. Maka setelah keliling dari Grojogan Sewu, diputuskan untuk mengunjungi Sangiran.

Backpacker ke Sangiran
Agak ragu juga untuk pergi ke Sangiran apalagi waktu menunjukkan pukul setengah dua sore ketika bertolak dari Terminal Tawangmangu. Setengah tiga baru sampai di Terminal Tirtonadi, Solo. Agak nekat, sekaligus maksa juga ke Sangiran, apalagi dari info yang didapat kalau museum tutup jam setengah empat sore.

Sebenarnya, rute ke Sangiran sangat mudah ditempuh, rute paling dekat dan cepatnya adalah melalui Solo.
    >  Untuk ke Sangiran kita harus ke Kalijambe, Sragen, dan dapat naik bus besar ke Purwodadi atau bus ¾ ke Kalijambe. Bilang aja turun di pertigaan Kalijambe [walau ternyata itu perempatan]. Biaya Rp 4.000,-

    >  Jika dari Semarang, maka dapat naik bus jurusan Solo dan minta turun di pertigaan kalijambe.

    >  Dari Surabaya dapat turun di Sragen dan naik bus jurusan Kalijambe dan sebelumnya kita akan melewati Gemolong, ibu kota kedua Sragen.

    >  Dari pertigaan Kalijambe, Sangiran masih berjarak 4 kilometer lagi. Tak ada angkot untuk menuju ke sana, jalan satu – satunya adalah naik ojek dengan biaya Rp 10.000,- untuk sekali jalan.

Naik bus ¾ ke Kalijambe ternyata bukan  pilihan yang bijak. Setengah tiga sore naik bus, dan busnya “ngetem” lama banget. Jam tiga sore bus baru berangkat dengan kondisi penuh sesak dengan penumpang, apalagi ditambah dengan panasnya Kota Solo masih belum cukup, tiba – tiba aja ada anak kecil yang mabuk begitu naik bus dan duduknya tak begitu jauh dibelakangku. Sensasinya bagaikan sarden dalam kaleng untuk kesekian kalinya.

Jarak antara terminal dengan Sangiran sekitar 18 km [ada banyak sekali rambunya] dan ditempuh dalam waktu setengah jam. Alhasil, jam setengah empat tepat nyampe di pertigaan Kalijambe dengan gapura besar nan megahnya. Walau agak putus asa, akhirnya nyamperin “satu – satunya” tukang ojek yang masih mangkal di sana. Dengan yakin, pak ojek bilang kalau  museumnya tutup jam setengah lima sore. Masih ada harapan sejam untuk mengunjungi museumnya. Setelah negosiasi harga [walau agak mahal juga] akhirnya berangkat juga naik satu sepeda motor dan diisi tiga orang dengan tas ransel besar dan barang bawaan aneh lainnya.

Museum Purbakala Sangiran

Dari kejauhan, tampak gapura gading besar yang bersilang. Dan dari jauh pula, mbak – mbak penjaga karcis tergopoh – gopoh menyuruh kami segera masuk karena jam menunjukkan pukul setengah empat lebih sedikit dan mereka mau kencan :D [bercanda kok]. Intinya, walau ada papan penunjuk kalau museum tutup setengah lima sore, loket akan tutup sekitar jam empat sorean.

Tergesa – gesa, kami bertiga segera masuk ke museum setelah sebelumnya membayar retribusi Rp 3.000,- untuk wisatawan domestik dan Rp 7.000,- untuk wisatawan asing [terserah mau  membayar yang mana :D]. Museum Purbakala Sangiran sendiri memiliki dua ruang pameran.  Ruang pameran I merupakan ruangan pameran yang pertama. Di sini terdapat patung rekonstruksi evolusi manusia, mulai dari Ramapithecus, fosil berusia 15 juta tahun dari Pakistan hingga Homo Sapiens - manusia modern. Di ruang pameran I juga terdpat diaorama kehidupan manusia purba, berbagai macam fosil mulai dari gajah hingga kura – kura. Ruang pameran I hanya terdiri dari dua ruangan saja dan  karena sudah jam empat, maka setelah kami keluar ruang pameran I ditutup untuk hari itu.

Diaorama Evolusi Manusia Di Museum Purbakala Sangiran

Lanjut, kami berjalan ke Ruang Pameran II yang terletak di atas. Sebelum masuk, kita disuruh mengisi buku tamu oleh para satpam yang sekaligus merangkap sebagai penjaga museum. Para satpam ini juga akan menawari kita buku tentang Sangiran. Buku dengan kualitas bagus diberandol Rp 80.000,- [bagus namun tipis] dan buku yang satunya diberandol Rp 20.000,- [tebel tapi kecil], sayangnya saya ga berminat beli saat itu, namun sekarang jadi kepengen beli………



Fosil – Fosil Di Museum Purbakala Sangiran

Di Ruang Pameran II “dikhusukan” menyimpan berbagai macam fosil dengan ukuran besar. Yang paling mencolok mata adalah fosil gading gajah Stegodon trigonocephalus juga fosil dari bagian tubuh lainnya dari Stegodon trigonocephalus seperti tulang rusuk, tulang belakang dan tulang paha yang juga berukuran serba jumbo.

Selain itu, masih ada fosil Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), Cervus sp (rusa dan domba), Crocodillus sp (buaya), Hippopotamus sp (kuda nil), Chelonia sp (kura-kura), kepiting, aneka moluska, bebatuan, mulai dari batu koral (ditemukan dalam formasi Kalibeng) sampai batu meteor (Taktite) yang ditemukan di Desa Krikilan, Karanganyar dan yang primadona, fosil tengkorak manusia purba mulai yang diketemukan di Trinil, Ngawi sampai yang diketemukan di Sangiran, beserta aneka peralatan sang manusia purba seperti kapak batu. Sayangnya, fosil tengkorak manusia purbanya banyak yang replika alias PALSU!! Sangat disayangkan, daerah penemunya tak memiliki fosil aslinya.

Ada Tulisan Copy-nya Di Bagian Bawah Keterangan

Untuk oleh – oleh, tak usah khawatir. Selain mendapat pengetahuan mengenai fosil dan kepurbakalaan, ada sederet kios – kios cenderamata di depan museum. Yang khas dari Sangiran apalagi kalau bukan fosil !! Yup ! Fosil bisa diperjual belikan bebas disini, terutama fosil kerang. Waktu liat – liat, ternyata mereka menjual lebih daripada fosil kerang, ada fosil gigi gajah juga !!
            “ Lho mbak, boleh tho ngejual fosil kayak gini ? Bukannya yang boleh dijual Cuma fosil kerang aja ?! “ Tanyaku. Dan dengan entengnya mbaknya menjawab,
            “ Ga pa – pa mas, inikan Cuma pecahannya aja. Lagian ukurannya kecil kok ! Kalo besar baru ga boleh dijual !! “ Ya udah deh…..

Kalau tidak suka fosil, hal yang khas disini adalah ukiran manusia purba dari batu berwarna coklat seharga Rp 10.000,- tergantung kita menawarnya. Di sini juga saya sempat ditawari fosil “puser” manusia purba :D Ja Elah !! yang terakhir ini udah pasti palsunya. Ya, untuk urusan fosil kita memang harus hati – hati, apalagi pak ojek yang nganter bilang banyak fosil palsu yang cuma berasal dari batu dipahat aja !!

Sangiran Dome – Kubah Sangiran
Tidak jauh dari museum, kita dapat mengunjungi menara pandang setinggi 3 lantai. Tempat ini dikususkan agar pengunjung yang ke Sangiran dapat melihat Kubah Sangiran yang spektakuler itu. Sialnya, tempatnya udah tutup. Ya dah, kembali deh !! Pas kembali inilah, terlihat Kubah Sangiran itu ! karena terletak diatas bukit, ternyata ga perlu naik menara pandang segala kita sudah bisa melihat Kubah Sangiran. Tereak minta pak ojeknya berhenti. Ambil kamera, dijepret deh !! Pak ojeknya aja bingung, apa sih yang saya foto ??
Kubah Sangiran Atau Sangiran Dome

Sangiran Dome memiliki luas wilayah sepanjang bentangan dari utara –selatan sepanjang 9 km. Barat –Timur sepanjang 7 km.  Masuk dalam empat kecamatan atau sekitar 59,3 Km2.

Sangiran Dome merupakan sebuah lembah besar seakan – akan merupakan kubah. Daerah ini dilalui oleh Sungai Cemoro yang bermuara di Sungai Bengawan Solo. Nah, setelah bertahun - tahun, Sungai Cemoro mengikis lapisan tanah di sekitarnya dan muncullah aneka singkapan formasi tanah periode pleistocen yang susunannya berbentuk tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Di lapisan inilah aneka fosil manusia purba dan hewan – hewan prasejarah ditemukan. Tempat ini merupakan tempat yang kaya akan fosil.

World Heritage List No. 593


Tanda Situs Warisan Dunia UNESCO Di Sangiran

Di Indonesia, ada 7 Situs Warisan Dunia. Tiga diantaranya merupakan situs kebudayaan dan tiga – tiganya berada di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Situs Sangiran salah satunya. Sangiran sendiri berada di  tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu Kecamatan Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh, serta satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar, yaitu Kecamatan Gondangrejo. Tahun 1934 G.H.R.Von Koenigswald, seorang ahli paleoantropologi dari Jerman meneliti Situs Sangiran dan menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Sangiran Dome. Setelah itu, Eugene Dubois menemukan fosil Pithecanthropus erectus dan mata duniapun mulai tertuju ke Sangiran.

Penemuan – penemuan penting di atas ditemukan di wilayah kubah Sangiran. Dimana jika kita menghitung jumlah penemuannya, maka Sangiran merupakan tempat diketemukannya fosil hominid terbanyak di Indonesia dan hampir 60 % dan 50 % temuan fosil hominid dunia.

Atas dasar – dasar tersebut, maka pada tanggal 5 Desember 1996 dalam sidang Komisi Warisan Budaya Dunia yang ke 20 di Kota Marida, Mexico, menetapkan Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia Nomor 593.

Selain ingin menambah ilmu, embel – embel warisan dunialah yang turut andil menyeret saya ke Sangiran. Dan, setiap Situs Warisan Dunia pasti memiliki papan namanya sendiri. Nah, selagi ibu saya sibuk membayar tiket masuk, maka saya muter – muter untuk mencari tandanya itu.

Overall, agak kecewa juga ke Museum Purbakala Sangiran ini. Fosilnya terlalu sedikit dan setidaknya ada replika fosil manusia purba atau replika fosil hewan secara utuh yang biasa di pajang di museum - museum besar. Namanya yang sudah go internasional tidak bisa menjadikan  jaminan. Namun, saat saya menanyakan tentang hal ini, pak satpampun berkata bahwa semua fosil di Ruang Pamer II akan dipindah ke gedung baru disebelahnya yang menelan dana sekitar 25 milyar. Hm, sepertinya sangat menjanjikan, apalagi masih banyak fosil yang disimpan di ruangan tertutup di dalam museum ini dan belum ditunjukkan ke publik.


Sore hari Di Pertigaan Kalijambe

Setelah berkeliling, kami segera kembali ke pertigaan kalijambe dan dikanan – kiri jalan kami menjumpai toko souvenir yang menjual fosil kayu dalam ukuran besar. Sempat bertanya juga ke pak ojek tentang harganya,
            "  Wah kalau itu yang beli kebanyakan turis asing, "
            "  Lho, turis asingnya banyak tho pak ? "  tanyaku heran karena pada hari itu tidak melihat adanya turis asing.
            "  Dulu, sebelum bom Bali, hampir setiap hari selalu ada turis asing yang berkunjung kesini " Pak ojekpun tertawa masam. Dan ojekpun terus melaju ………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar