Hm, Berbeda dengan kota tetangganya, Surabaya, ternyata Kabupaten Sidoarjo yang sarat akan bangunan pabrik ini menyimpan banyak sekali peninggalan sejarah era Klasik Indonesia, Candi Pari adalah salah satunya. Candi Pari sendiri berada di Dusun Candi Pari Wetan, Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Bacpacker ke Candi Pari
Tak banyak yang tahu ternyata letak Candi Pari berseberangan dengan Kolam Lumpur Panas Lapindo, bersanding dengan Candi Sumur, Candi Pamotan I dan II serta Candi Wangkal. Jika ditarik garis lurus, Candi Pari hanya berjarak 2,5 Km dari Jalan Raya Porong.
> Jika kita berkendara sendiri, maka kita dapat mengarahkan kendaraan kita menuju Kolam Lumpur Panas lapindo. Dari sini kita dapat menanyakan lokasi candi ke penduduk setempat yang sangat mengenal candi ini.
> Jika memakai kendaraan umum, maka kita dari arah Surabaya kita dapat naik bus menuju Pandaan atau bus menuju Pasuruan, bilang turun di porong tepatnya di Tugu Kuning. Dari sini kita dapat naik ojek atau becak menuju candi. Jarak yang ditempuh sekitar 4 Km.
> Saat disini, saya juga melihat adanya penampakan angkot. Setelah saya telusuri, ada angkot dengan kode HV yang lewat Desa Candipari, jumlahnya hanya 15 angkot saja, dengan rute : Pasar Porong – Siring – Pamotan – Wunut – Candipari – Kedungborto – Waung – Jiken – Ploso – Mojoruntut – Krembung – PP.
Deskripsi Dan Sejarah Bangunan
Candi Pari memiliki bentuk yang tambun mengingatkan kita akan candi – candi di Jawa Tengah. Candi dari batu bata merah ini memiliki tinggi 15,40 meter, panjang 16 meter dan lebar 14,10 meter. Candi Hindu ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Hal ini terbukti dari adanya pahatan angka tahun 1293 saka (1371 M) di ambang pintu masuk candi.
Candi Pari bisa dibilang masih memiliki bentuk yang utuh, kaki dan badan candi masih ada hanya sebagain atap candi sudah tidak ada. Candi Pari minim sekali akan hiasan atau relief. Hiasan yang ada hanya miniatur candi yang menjorok keluar dari badan candi. Di atas miniatur candi ini terdapat hiasan berupa teratai. Di kanan – kiri miniatur candi ini terdapat lubang angin yang langsung tembus ke dalam bilik candi. Pada bagian atap candi sebenarnya ada hiasan binatang, namun sekarang sudah dalam kondisi yang aus.
Keunikan lainnya mengenai Candi Pari selain bentuknya yang tambun adalah tangga pintu masuk. Jika candi – candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju bilik candi, maka hal ini tidak berlaku bagi Candi Pari. Untuk menuju bilik candi, sebelumnya akan ada sebuah bidang persegi (batur) yang menjorok keluar dari bawah pintu candi (hal ini juga dapat dilihat di Candi Ngetos dan Candi Bangkal). Dikanan dan kiri batur tersebut terdapat tangga dengan pipi tangga (tempat pegangan) dalam kondisi yang telah runtuh. Di beberapa sudut halaman candi juga terdapat reruntuhan batu bata, kemungkinan merupakan bekas pagar yang mengelilingi Candi Pari.
Di dalam bilik candi terdapat beberapa batu andesit, arca – arca dalam kondisi yang tak utuh serta beberapa balok kayu. Pada dinding bilik candi yang berhadapan dengan pintu masuk candi, terdapat sandaran arca dengan ukuran 6 x 6 meter. Mengingat besarnya sandaran arca, pasti besar pula arca yang menempati bilik Candi Pari ini. Namun, entah arca apa yang berada disana, mengingat arca tersebut tak pernah diketemukan.
Pemugaran
Sudah banyak literature dan foto tentang Candi Pari sejak zaman Belanda. Salah satu diantaranya adalah N.J.Krom, yang menerbitkan bukunya Inlejding tot de Hindoe-Java asch Kunst tahun 1923.
Pada zaman kolonial belanda pula, Candi Pari pernah dipugar, pemugarannya antara lain memasang kayu pada bagian langit – langit pintu masuk. Pada tahun 1994-1999 Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala Jawa Timur melakukan pemugaran kembali Candi Pari, dan tentunya dibantu oleh Pak Mustain, juru pelihara Candi Pari.
Legenda
Masyarakat sekitar mengenal Candi Pari dan Candi Sumur sebagai Candi Lanang (Candi laki-laki) dan Candi Wadon (Candi Perempuan). Hal ini dikarenakan legenda tentang tokoh Joko Pandelegan.
Alkisah, hiduplah Joko Walangtinuk dan Joko Pandelegan sahabatnya. Mereka berdua hidup di Desa Kedungtas dan membabat hutan untuk ditanam padi. Hasil panennya melimpah hingga Raja Hayam Wuruk mengirim orang kesana untuk meminta padi.
Imbalannya, Joko Walangtinuk diangkat jadi pejabat di Keraton Majapahit. Joko Walangtunik setuju asalakan Joko Pandelegan juga boleh diajak. Namun, Joko Pandelegan beserta istrinya Nyi Roro Walang Angin menolak karena ingin tetap hidup di desa.
Akhirnya, Joko Pandelegan masuk ke dalam lumbung, sedangkan Nyi Roro Walang Angin masuk ke dalam sumur. Mereka berduapun muksa disana. Untuk mengenangnya, Raja Hayam Wuruk membangun candi di tempat kedua orang itu menghilang. Candi – candi itu sekarang kita kenal dengan sebutan Candi Pari dan Candi Sumur.
Sayangnya, selama hampir satu jam saya disana, saya tidak bertemu satupun juru pelihara candi, padahal Candi Pari memiliki 3 juru pelihara. Padahal juga sudah dihubungi Bu Maryati yang memiliki warung di depan Candi Pari (suaminya salah satu jupel). Katanya sih, suaminya sedang cari rumput. Tak ada sumber yang bisa ditanyai, apalagi tentang sejarah penemuan Candi Pari.
Candi Pari
Bagaimanapun juga, Candi Pari sebenarnya sangat cocok dijadikan sebagai tempat rekreasi alternatif. Apalagi kalau wisatawan yang dari dan ke Bromo juga dibelokkan ke Candi Pari dan Candi Sumur setelah mereka mengunjungi Lumpur Panas Lapindo. Walaupun Candi Pari berada di lahan luas, memiliki taman yang tertata beserta kamar mandi, namun sangat jarang orang berkunjung kesini, apalagi kalau bukan musim liburan. O, Ya, jangan lupa juga berkunjung ke Candi Sumur yang berada 100 meter dari Candi Pari.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar